Hilir mudik kendaraan membuatku
tidak betah lama-lama disini, debu bertebaran dan suara klakson bersautan
ditambah lagi pengerjaan badan jalan yang membuat suasana semakin tak nyaman.
Herannya kondisi ini malah penuh tawa disudut lain, aku melihat sebuah kolam
atau tepatnya itu parit dan anak-anak riang gembira bermandikan limbah.
Bajaj kosong menghampiri, aku langsung naik minta diturunin di Stasiun Kota. Kata Bu Lia (Sang Interviewer) nanti sepulang dari pabrik naik bajaj aja biayanya 15ribuan. Ini perjalanan pertama naik bajaj, aku tak menyangka sensasinya bakalan berbeda, seru dan kampret. Diperempatan sang driver mencoba unjuk gigi, ditengah padatnya jalan dia malah menaikkan kecepatan. Aku bersorak dibelakang, dia memicingkan mata. Maaf, aku tidak menyukai mata mesumnya. Akhir kata kami sampai ditujuan, ku berikan sesuai harga. Aku menjauh dari bajaj dan supir mendengakkan kepalanya keluar bajaj, kali ini matanya melotot. Aku paham perlakuan semacam ini dan beginilah pemerasan yang pertama aku alami di Jakarta….
Bajaj kosong menghampiri, aku langsung naik minta diturunin di Stasiun Kota. Kata Bu Lia (Sang Interviewer) nanti sepulang dari pabrik naik bajaj aja biayanya 15ribuan. Ini perjalanan pertama naik bajaj, aku tak menyangka sensasinya bakalan berbeda, seru dan kampret. Diperempatan sang driver mencoba unjuk gigi, ditengah padatnya jalan dia malah menaikkan kecepatan. Aku bersorak dibelakang, dia memicingkan mata. Maaf, aku tidak menyukai mata mesumnya. Akhir kata kami sampai ditujuan, ku berikan sesuai harga. Aku menjauh dari bajaj dan supir mendengakkan kepalanya keluar bajaj, kali ini matanya melotot. Aku paham perlakuan semacam ini dan beginilah pemerasan yang pertama aku alami di Jakarta….
Aku sudah meyelesaikan shalat
magrib di masjid belakang gedung Bank BNI, tak jauh dari stasiun kota. Aku pikir
terlalu cepat rasanya untuk pulang dan comuter terakhir sampai jam sebelas
malam, begitu pesan Reza. Akhirnya aku berbelok dan menjauh dari stasiun dan
menghampiri bangunan Kota Tua. aku menghampiri Café Batavia, bukan untuk
menikmati sensasi kopi di malam hari hanya memandangi arsitektur bangunannya
saja, café semacam itu tidak cocok untuk kantongku.
Sengaja aku duduk di tengah
lapangan, lagu Gone Gone Gone dari Phillip Phillips menemani kesendirianku.
Menikmati malam dengan nuansa tempoe dulu, menghadirkan rasa keingintahuanku
tentang nilai-nilai sejarah masa lalu. Aku membuka buku yang ada di dalam
tasku. Buku ini sudah ku beli beberapa bulan yang lalu di Gramedia Bandung. Aku
tergelitik untuk memilikinya, judul bukunya “Jelajah Negeri Sendiri” yang
diterbitkan Bentang Pustaka. Di dalamnya berisi jurnal perjalanan tak biasa—catatan
perjalanan merawat nasionalisme, begitu deskripsi di cover bukunya. Aku terlena
dengan bab-bab di dalamnya, entah sudah berapa lagu terlewati dari ipod shuffle
yang disumpel headset ke telingaku. Sekelilingku dipenuhi manusia yang juga
mencuri kesenangan dari Kota Tua.
Perjalanan
pulang, pukul sembilan malam meninggalkan Kota Tua. Aku tidak yakin bakalan
menyudahi penjamahanku disana. Aku sudah menitip pesan pada Fatahillah, aku
akan kembali menjemput Diponegoro dari penjara yang mengerikan…
0 comments:
Posting Komentar