Pusat Primata Schmutzer |
Perjalanan hari ini bertujuan untuk
menghindari spesies keturunan homosapiens
yang sudah menjejali setiap sudut ibukota. Aku sangat merindukan bergabung
dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Maka, laksana menjemput cinta
dan asa, hati ini bermekaran seindah raflesia, impian mengudara segagah elang
di angkasa, dan bau tengik manusia yang bergelantungan ini membuatku ingin
muntah. Aku dapat bernafas lagi setelah tiba di halte harmoni untuk transit dan
berganti bus transjakarta yang mengarah ke Ragunan. Transjakarta akan berhenti
di pintu utara bonbin ragunan, pastikan setibanya nanti untuk memiliki tiket
masuk dan anda bukan penghuni bonbin yang kabur.
Kemolekan pelikan menyihirku dari kejauhan di pintu gerbang utara. Alunan merdu burung-burung bersautan seolah memanggilku “Apa lagi yang kau tunggu, masuk saja…” begitulah tingkahnya binatang. Namun identitas ku adalah sebagai manusia, jadi prosedurnya harus seperti manusia, masuk melewati palang pengamanan, menunjukkan tiket, dan tersenyum kepada petugas. Tak lupa aku sempat bergaya di depan kamera tukang poto keliling di pintu masuk, this is the real man.
Aku sudah mulai terbiasa dengan baunya, beberapa dari pengunjung lain mengeluh bau amis dari santapan si Pelikan. Meskipun memang terasa agak bau, tetapi ketika aku berada di pasar ikan Muara Angke tercium lebih menyengat dibandingkan ikan-ikan kecil santapan burung putih yang tidak berdaya untuk terbang ini. Rasanya mereka mengikuti jadwal makannya manusia, sudah saatnya makan siang. Begitulah yang aku pikirkan seraya mengemut ikan-ikan bersama mereka. Bangke!!!
Sejujurnya aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa menawarkan bakso murah di area food center ragunan yang seyogyanya ditempat wisata harga jajanan bisa meroket fantastis. Mbak-mbak muda sampai mbok-mbok yang sudah kehilangan masa mudanya menawarkan bakso seharga sepuluh ribu. Aku tergiur ajakan mereka dan drama korea yang bercokol di TV salah satu warung. Sambil makan, aku melihat-lihat rute kawasan yang ada di ragunan, dengan sangat teliti dari sudut ke sudut, dari utara hingga selatan, dari barat menuju timur, ternyata aku kecewa… Kamera hape ku tidak menangkap detil yang sempurna saat membaca tulisan denah lokasi, dan aku lebih kecewa lagi karena harus membayar 25k untuk porsi mi ayam bakso + es teh. Hilang sudah seleraku menikmati sajian drama korea yang sudah berganti alunan boyband.
Kemolekan pelikan menyihirku dari kejauhan di pintu gerbang utara. Alunan merdu burung-burung bersautan seolah memanggilku “Apa lagi yang kau tunggu, masuk saja…” begitulah tingkahnya binatang. Namun identitas ku adalah sebagai manusia, jadi prosedurnya harus seperti manusia, masuk melewati palang pengamanan, menunjukkan tiket, dan tersenyum kepada petugas. Tak lupa aku sempat bergaya di depan kamera tukang poto keliling di pintu masuk, this is the real man.
Aku sudah mulai terbiasa dengan baunya, beberapa dari pengunjung lain mengeluh bau amis dari santapan si Pelikan. Meskipun memang terasa agak bau, tetapi ketika aku berada di pasar ikan Muara Angke tercium lebih menyengat dibandingkan ikan-ikan kecil santapan burung putih yang tidak berdaya untuk terbang ini. Rasanya mereka mengikuti jadwal makannya manusia, sudah saatnya makan siang. Begitulah yang aku pikirkan seraya mengemut ikan-ikan bersama mereka. Bangke!!!
Sejujurnya aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa menawarkan bakso murah di area food center ragunan yang seyogyanya ditempat wisata harga jajanan bisa meroket fantastis. Mbak-mbak muda sampai mbok-mbok yang sudah kehilangan masa mudanya menawarkan bakso seharga sepuluh ribu. Aku tergiur ajakan mereka dan drama korea yang bercokol di TV salah satu warung. Sambil makan, aku melihat-lihat rute kawasan yang ada di ragunan, dengan sangat teliti dari sudut ke sudut, dari utara hingga selatan, dari barat menuju timur, ternyata aku kecewa… Kamera hape ku tidak menangkap detil yang sempurna saat membaca tulisan denah lokasi, dan aku lebih kecewa lagi karena harus membayar 25k untuk porsi mi ayam bakso + es teh. Hilang sudah seleraku menikmati sajian drama korea yang sudah berganti alunan boyband.
Rasanya pantas masyakarat Jakarta
mengisi liburan di Ragunan, pasalnya lokasi ini sungguh terawat. Banyak
titik-titik kotak sampah tersebar dan petugas kebersihan yang siap
menyelamatkan keimanan kita, karena kebersihan itu sebagian dari iman. Tetapi
sayang seribu sayang, masyarakat kota ini sepertinya tidak ingin berkenalan
dengan burung unta, tidak ingin mendengar kakatua, atau sekedar menjenguk
kerabat mereka yang hampir punah. Pengunjung kebun binatang lebih sedikit dibandingkan
satwanya.
Sudah berkeliling tergopoh-gopoh karena
luasnya area ragunan, mata ini mengarah ke sebuah wahana edukasi menarik,
tulisannya schmutzer. Ada yang bisa
melafalkannya? Pusat Primata Schmutzer memiliki
koleksi Gorila, primata besar yang ada di film itu loooh… Aku kagum benar-benar kagum, Indonesia punya
koleksi langka.
Aku berhenti sejenak, ada tiket masuk
setelah bayar tiket masuk? Aku membeli tiket lagi untuk masuk ke pusat primate schmutzer. Aku cemas saat petugas
memanggil, ini petugas pemeriksaan, aku tidak berencana melakukan transaksi
ganja dengan gorilla, aku bukan pemakai, apa lagi pengedar. Lalu tuduhan apa
yang dilayangkan kepadaku? Akhirnya aku pasrah karena hanya razia makanan dan
minuman. Sebotol Aqua, bekal roti yang sengaja aku beli di seven eleven untuk
kunikmati bersama kesendirian, plus permen xylitol aku relakan di ambil
petugas. Ya Tuhan, semoga ketika aku keluar nanti jajananku tertukar sama nasi
kotak yang ada di kotak penitipan ini.
Sebelum aku masuk, aku googling
sebentar, Wikipedia terbuka, isinya:
“…Walaupun berada dalam kebun binatang ragunan, pengelolaannya tidak
diserahkan pada kebun binatang ragunan, melainkan oleh swasta yang dana
pendiriannya berasal dari The Gibbon Foundation…”
Kecurigaanku benar, uang tiketku
mengalir ke pihak asing.
Sepanjang rute di dalam pusat primata,
aku tidak melihat adanya gorilla, yang ada hanya kerabat-kerabatnya saja,
spesies kera, monyet, dan kalian yang berjabat tangan ditempat umum yang belum
muhrim. Mungkin gorilla sudah tidak ada disini lagi atau sedang bermain baseball bersama Wei Wei (ada yang sudah
nonton film drama korea Mr. Go…?). Di dalam area wahana, tersedia pancuran air
minum di beberapa lokasi, gua-gua kecil, dan kehidupan primata yang katanya dirancang seperti habitat asli tanpa
kandang (enklosur). Sebelum pintu masuk, ada museum tempat informasi sejarah
dan kehidupan primata, juga ada bioskop mini tempat memutar video tentang primata,
sayangnya aku tidak dapat menyaksikan karena tidak ada petugas di dalamnya.
Aku
ingin menyudahi semuanya, tidak bertemu gorilla, tidak ada bioskop gratis, lelah
melihat orang-orang pacaran, bahkan presiden kontroversial pun lelah,
tulisannya yang terpampang dimuseum sesingkat ikat pinggangnya, “Teduh… Bersautan Suara Satwa2…” Jokowi
8-10-2013 ditandatangani. Tetapi, aku lebih suka mengomentari tulisan Kak Seto,
“Pusat primata schmutzer sungguh
merupakan tempat yang ideal untuk sarana pendidikan dalam suasana yang
menyenangkan bagi anak-anak!” Kak Seto, 10-09-15 ditandatangani. Begitu
indahnya tempat ini, menyenangkan dan sangat ideal untuk rekreasi sambil
mendapatkan pendidikan. Bahkan Kak Seto pun setuju bahwa mereka dikurung untuk
kita mendapat ilmu. Lalu, kemana manusia-manusianya saat mereka ingin kita melihatnya?????
0 comments:
Posting Komentar