LATAR BELAKANG
Anak
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat dipisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dalam sebuah bangsa dan negara. Keberlangsungan
hidup Anak menjadi peran vital tegak dan majunya suatu bangsa karena ditangan
mereka masa depan bangsa dan negara dilanjutkan. Sebuah ungkapan menyatakan
“Majunya sebuah bangsa dapat dilihat dari bagaimana bangsa tersebut
memperlakukan anak-anak mereka.”
Indonesia
sebagai bangsa dan negara yang berdaulat menjadikan anak sebagai prioritas
dalam Rencana Pembangunan Nasional oleh Bappenas. Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan beragam
program kebijakan berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang layak
anak, meningkatkan SDM yang berkualitas dengan melibatkan partisipasi anak.
Selain
itu, Indonesia sebagai negara hukum pun tak lepas peran untuk memberikan ruang
bagi keberlangsungan anak yang terlibat pada kasus-kasus pelanggaran hukum. Sebagai
bagian dari negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia
turut meratifikasi hak-hak Anak yang termuat dalam Konvensi Hak Anak,
melegitimasi menjadi aturan negara yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang.
Masalah
hukum yang dilakukan anak kerap kali menyudutkan pihak anak yang melakukan
pelanggaran. Kerap kali anak diabaikan pendapatnya, diskriminasi, bahkan
mendapat perlakuan yang tidak baik karena dianggap lemah dan tidak mampu
melawan. Pidana penjara pun turut memberikan efek yang bertentangan dengan hak
anak karena dapat membuat anak sulit untuk tumbuh dan berkembang dan
memungkinkan anak untuk mempelajari kejahatan yang lebih buruk karena
komunikasi di dalam penjara. Untuk itu, dalam melindungi hak anak selama
menjalani proses hukum hingga menyelesaikan masa hukumannya, lahirlah
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Babak
baru dari reformasi hukum di Indonesia mulai disuarakan melalui konsep keadilan
restoratif.
ISU
POKOK SPPA
Munculnya
UU No. 11 tahun 2012 tentang SPPA merupakan upaya pemerintah untuk merespon
perlakuan bagi anak pelanggar hukum yang hak-haknya diabaikan. Dengan
menggunakan konsep keadilan restoratif, upaya pemenuhan dan perlindungan hak
anak yang berhadapan dengan hukum semestinya dapat diberikan.
Keadilan
Restoratif merupakan pendekatan untuk memulihkan hubungan baik antara pelaku
dengan korban kejahatan sehingga hubungan antara pelaku dan korban dapat
kembali pulih dan bukan bersifat pembalasan. Keadilan restoratif memungkinkan
proses pemulihan hubungan dengan melibatkan pihak-pihak terkait yang turut
terdampak dari tindak pidana atau pelanggaran hukuman yang dilakukan anak.
Sistem Peradilan Pidana Anak juga menghindarkan anak dari proses pembalasan dan
pemenjaraan adalah alternatif hukum terakhir yang diberikan.
PERAN
STRATEGIS TOT
Training
of Trainer merupakan pelatihan yang dilakukan kepada calon
fasilitator agar mampu mentransfer keahliannya secara cepat menjadi salah satu
upaya strategis untuk meningkatkan kompetensi dan pemahaman terkait dengan penyelenggaraan
sistem peradilan pidana bagi anak. Dengan Training of Trainer yang
memberikan pembelajaran transfer ilmu serta dilakukan secara bersama-sama antar
aparat penegak hukum memberikan ruang untuk menyatukan persepsi sehingga di
lapangan dapat memberikan kontribusi terbaik sesuai peran masing-masing.
Menjadi
seorang trainer tentu tidak bisa dilakukan dengan cara yang sembarangan. Ada
begitu banyak kompetensi yang harus dimiliki karena menyangkut sikap
profesionalitas sehingga penyelenggaraan Training of Trainer menjadi
peran vital untuk membantu peningkatan kompetensi bagi calon trainer. Selain
itu, penyelenggaraan Training of Trainer juga akan mampu meningkatkan
rasa percaya diri pada trainer karena sudah tersertifikasi, memiliki bekal
pengetahuan dalam memberikan pelatihan yang baik, benar, dan menarik kepada
peserta.
KESIMPULAN
DAN CATATAN PENUTUP
0 comments:
Posting Komentar